Machu Pichu

“Aku tidak suka kopinya, terlalu asal. Minta satu lagi yang lebih enak dari biasanya” gerutu wanita pelanggan kedai kopiku. Siang itu terik seakan tak ingin mengalah pada langit, dengan wajah cemberut aku mulai membuatkan kembali kopi untuk pelangganku.

“Sabar dong Nay. Tuh masih banyak pelanggan yang belum tersentuh. Ayo kamu bantuin sini, jangan ngomel saja“. Aku melangkah gontai ke arah Bima.

Hari yang aneh. Saat matahari tepat diatas kepala kedai kopiku ini malah ramai sekali. Bukannya mereka harusnya cari es atau semacamnya untuk mengademkan isi kepala mereka, menurunkan suhu tubuh mereka. Ah tapi ini rejeki, kedaiku malah ramai seperti ini. Aku mempunyai 5 pegawai dan sesekali aku turun tangan melayani pelanggan di saat ramai seperti ini.

“Nay nay bukan begitu cara membuat kopi yang enak. Kamu pikir ini kopi keliling apa. Perhatikan yah, gunakan air yang benar-benar bersih, suhu yang dibutuhkan adalah sekitar 95 derajat celcius. Yang kedua gunakan saringan kopi yang terhalus, ketiga gunakan dua sendok makan untuk ukuran enam gelas takaran yang pas.”

“Taburi garam bila konsumen menginginkan aroma, rasa pahitnya berkurang, begitukan Bim?”

“Nah itu sudah hafal cara buat kopi yang terlezat” Bima terkekeh. Dia sangat cerewet tentang kualitas kopi yang dijual. Tapi aku memang akui, racikan kopi dia memang dahsyat membuat ketagihan.

…………………..

“Nay 3 bulan lagi kita ke Machu Picchu yuk”

“ Visanya bisa selesai Bim dalam 2 bulan? Aku ragu”

“Kamu ingat saat kita ke sand boarding di Tangaloma? Ga pernah terpikir kan bakalan ada alam sedahsyat itu ?! Padang pasir di negeri 4 musim, padang pasir yang terbentuk karena tiupan angin terus menerus sehingga membentuk sand dune sampai ketinggian 20 meter.

“Yayayaa,, tentu saja ingat Bim. Sangat mengasyikkan surfing menggunakan papan, tapi diatas pasir. Arghhhhh ingin mengulanginya lagi. Meluncur wuswuswusssss, bahkan aku pun tak peduli seberapa tinggi aku harus melangkah lagi keatas. Andai ada lift, entah brapa puluh kali aku bisa seluncur. Belum lagi malamnya di cuaca yang sangat gemetar kita memberi makan ikan lumba lumba liar. Huhuhuhu pingin lagi Bim.”

“Tapi Nay, ga ditempat yang sama kan? Kita harus mencari daerah baru, untuk memberi makan jiwa kita”

“Kunjungi tempat yang tak pernah kau kunjungi. Makanlah makanan yang tak pernah kau makan, bacalah buku yang tak pernah kau baca, karena jiwamu butuh makanan, pikiranmu butuh cerita yang baru”

“Seratus deh untuk Nay-ku. Dan,,, kita nikmati kopi disana. I like coffee because it gives me the illusion that I might be awake”

“itu quote dari Lewis Black”

“Yup benar. So,,, siapin ya berkas berkasnya. Aku yang urus tiket, penginapan selama kita disana Nay”

3 bulan kemudian………

“Nay kita jangan lewat Inca trail yah. Base on my googling,, bule bule aja pada ngeluh. Yah kamu bayangin aja empat hari naik turun gunung. Kamu baru naik gunung semeru saja sudah menggerutu gak jelas, walau pas sampai puncak sumpah sumpah ga jelas pula saking senangnya.”

“Kan kita masih muda Bim, kenapa ga dicoba? Atau,, begini saja,, kita naik kereta api terus naik bus dari Aguas Calientes dan lanjut dengan trekking. Good idea kan ?

“Ga efisien itu Nay. Mending kita ikut travel budget aja deh, jadi orang kaya dulu sebentar untuk hemat waktu dan duit. Setelah aku hitung-hitung selisihnya ga banyak dan dari sisi tenaga kita bisa hemat kalau ikut travel.”

Perdebatan perdebatan kecil itu selalu mewarnai perjalanan ku dengan Bima. Tapi aku senang, paling tidak kita punya alternatif-alternatif selama perjalanan. Aku sendiri tak pernah bermimpi bisa sampai ke Machu Pichu, karena (lagi-lagi) kalau katanya Mbah Google, daerah Machu Pichu ini sangat terpencil, belum lagi menuju kesananya sangat ribet.

Eh tapi akhirnya bisa juga sampai di Cusco, so amajing makk. Aku dan Bima memutuskan untuk memakai jasa travel agent untuk berangkat ke Machu Pichu.

Dari Cusco, aku dan Bima naik kereta api menuju ke  Agua Calientes. Setelah menginap semalam di Agua Calientes esok paginya pihak travel agent menjemput kami untuk naik bus menuju Machu Pichu. “Astajim”,, untung  pilihan kami tidak trekking, bisa bisa kami jadi gempor beneran. Jalannya benar benar jauh dan terjal, tidak bisa dilalui bus lagi. Maka kami serombongan di bus (yang tentu saja tidak saling kenal) turun untuk berjalan menyusuri hutan, naik turun, naik turun. Ga kebayang, seperti ini saja kaki sudah berasa bebal, aplagi kalau memutuskan trekking.

Setelah berjalan beberapa lama, tiba tiba tour guide kami menghentikan langkah dan,,, “wahhhhhhhh, reruntuhan bangunan Inca ada didepan kami” aku memeluk Bima tanpa sadar saking gembiranya.

“Bim, ini peradapan yang kita cari. Inilah mimpi yang selalu aku tulis sejak SMP. Berada di ketinggian 2430 m diatas permukaan laut. Kamu lihat deh itu Bim semua strukturnya kebanyakan adalah batu granit. Rupanya mereka memasang batu itu dengan rapat sehingga tidak memerlukan montir untuk menyatukan bebatuan itu “

“Nay coba lihat ini adalah Intihuatana. Masih ingat saat bu Nana menerangkan ini didepan kelas, saat itu aku berjanji akan melihat kota yang hilang itu”

“dan Bim kita termasuk yang beruntung karena dalam sehari hanya 400 orang yang dipebolehkan ke Huayna Pichu ini”

Huayna Pichu ini adalah salah satu puncak yang dapat didaki oleh pengunjung, memiliki bentuk puncak hijau kecil, berbentuk seperti cula badak, tempat ini sering digunakan sebagai latar belakang foto yang diambil oleh para pengunjung Macho Pichu. Sungai Urubamba yang berkelok kelok disekitar Machu Pichu seperti ular yang melingkar lingkar, sangat indah.

“Nay tahu nggak selain Kuil Utama Intihuatana itu, ada kuil matahari juga lho, yuk kita jalan kesana. Katanya sih di Torreon ini, selama titik balik matahari pada bulan juni, sinar matahari terbit dan akan langsung menyinari salah satu jendela candi. Nah, hal inilah yang menunjukkan keselarasan antara batu, jendela dan titik balik matahari”

“cie cie yang sudah privat sama mbah google” ledekku.

Setelah kami memasuki kuil matahari ternyata dibawah candi terletak sebuah gua yang terbentuk secara alami yang katanya disebut Bingham sebagai makam kerajaan. Disana juga terdapat batu ukir tangga yang terletak didekat pintu masuk gua dan ruang bawah tanah.

Aku dan Bima terdiam sesaat dan benar benar takjub. Bagaimana bisa ratusan tahun lalu orang orang bisa membuat peradapan yang begitu tinggi, karya seninya sangat luar biasa.

“Bim aku merinding lho, bagaimana mereka bisa ya?”

This is what i called remote paradise. Bagaimana mungkin membangun kota megah nan indah ditempat setinggi 2430 meter dipermukaan air laut. Woww.”

“Bim makasih yah sudah membawaku kesini. Terima kasih banyak Bim.”

“Nay  ini adalah perjalanan terakhir yang paling kuimpikan , aku tak memimpikan apa apa lagi”

“Kita cari kedai kopi yuk Bim”

…………………………………….

Perjalanan Machu Picchu adalah perjalanan legendaris dan terbaik yang tak pernah aku lupakan. Dari ribetnya mencari visa, menunggu antrian 400 orang per hari yang boleh naik, dan perjalanan terakhirku dengan Bima 3 tahun yang lalu. Aku tak begitu sadar dan baik menerima pesannya saat berdiri diatas tanah Machu Pichu untuk terakhir kalinya.

Satu  tahun setelah perjalanan kami ternyata Bima terkena ostesarkoma yang ternyata sudah menyebar sampai ginjal. Selama 2 tahun Bima berjuang mati matian melawan ostesarkoma, sampai kaki kirinya diamputasi. Kehilangan Bima rasanya seperti kehilangan keceriaan, seperti kehilangan separuh hidupku. Dan sekarang aku disini mengelola café yang kata Bima sebuah kedai kopi miliknya.“

“Bim, mungkin kau sedang berlarian di langit Machu Pichu yang penuh dengan bintang malam ini, atau minum segelas kopi pahit di pelataran surge. Tapi apakah kau masih suka kopi pahit juga di surga? Kau pernah bilang kopi pahit selalu menghangatkan pikiranmu, membuat ide ide selalu terjaga dikepalamu, tapi bagiku kopi pahitmu membuat bibirku selalu bergumam karena pahitnya, seperti halnya aku yang tak pernah bisa mengecap rasa pahit kehilangan kamu untuk selamanya.

Bim kadang aku ingin bertanya, apa rasamu ada di surga, jangan kau jawab kau sungguh bahagia dan balik bertanya apakah aku bahagia juga disini? Aku juga bahagia Bim, tapi tak sebahagia saat kau disini, saat kita bersama, merencanakan perjalanan, bertukar tawa, saling menyeka air mata. Maafkan aku Bim, aku rindu padamu…”

“Mbak kopi hitam satu ya, tanpa gula, dan minta tolong airnya yang sangat panas 95 derajat celcius minimal, bukan mengambil dari thermos.”

Aku tersentak kaget saat seorang pemuda menghampiriku, duduk di deretan meja dihadapanku, dan kopi pesanannya persis seperti kopi pahit Bima. Aku melirik genggaman tangannya sebuah majalah “National Geographic”.

“Makasih ya mbak kopinya. Oya, ga ada salahnya kan pembeli dan pemilik kedai ini berkenalan. Bumi” sembari menjulurkan tangannya.

“Nayara” aku menyambut uluran tangannya.

Diakah teman seperjalananku nanti, mencari Machu Pichu yang lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *