Bagian terbaik dalam hidupku adalah sebuah perjalanan yang sedang kususun kali ini. Bagiku berkeliling dunia dan menaklukkannya hanyalah sebuah mimpi. Bagaimana tidak? Hidup sehari hari saja aku susah. Nasi putih, kecap dan krupuk adalah surga bagiku. Himpitan ekonomi sulit tak membuatku pantang menyerah, dengan kata lain menjadi pintar, rajin dan gigih adalah mutlak jika ingin merubah nasib.
Saat SMPTN lulus masuk di Teknik Industri ITB adalah awal perjuangan yang dimulai dengan ikhtiar mencari pinjaman untuk biaya berangkat ke Bandung dan membayar pendaftaran ulang. And there I am, bermodal semangat bonek finally get my feet on Bandung. Bandung yang dingin membuatku senyap, anak kampung yang datang ke negeri kosmopolitan. Awal-awal semester ku lewati dengan menumpang sana sini dan akhirnya bisa menetap dan menyewa ramai ramai dengan teman-teman yang kutemui di ‘perjalanan’ antrian daftar ulang. Kontrakan sederhana yang tersohor angker, which is itu sebabnya kami bisa dapat harga sangat miring, hehehe. Jika mahasiswa-mahasiswa lain dapat pesan rajin dan fokus belajar supaya bisa lulus cum laude, untuk kami para mahasiswa kurang mampu ada daftar tambahan ‘rajin-rajin cari info beasiswa dan bertamu ke dosen pembimbing minta referensi kakak angkat alumni yang bersedia kita repotin keuangannya.’
Aku takjub dengan bangunan bangunan di ITB ini, menurutku arsiteknya sangat bagus, megah, kokoh dan terkesan unik. Untuk pertama kalinya aku mencintai sebuah seni, dibandingkan rumahku yang !)&&!#!& (sensor). Ah sudahlah, dirumah itu aku merasa damai dan surga, disini aku merasa kecil.
“Hoi. Anak Industri kan ? Suka Seni?”
“Hai…” aku tergagap. Aku sering melihat cowok ini di kelas, tapi tak satupun yang berhasil mengajaknya bicara lebih dari 10 kata, ajaibnya dia menyapaku duluan.
“Yudha…”dia mengulurkan tangan
“Kinanthi” aku mengulurkan tangan menyambutnya
“Di depanmu ini adalah aula timur, dan yang disisi lain adalah aula barat” sambil menunjuk kea rah tempat aula barat berada. “Kamu tahu siapa arsiteknya?” Aku menggeleng ragu.
“Arsiteknya adalah Henry Maclaine Pont, seorang ahli dari Belanda. Dia memadukan unsur nusantara dan eropa. Kamu tahu kuncinya masih asli lho sampai sekarang ga diganti . Satu lagi yang unik disini adalah masjid Salman ITB. Nanti kalau pas sholat disana kamu perhatikan deh, bangunannya tanpa kubah tanpa kolom. Hebat kan? Pasti kamu bertanya kok bisa aku tahu semuanya? Dulu aku sering ke sini saat SMA, aku melakukan melakukan banyak perjalanan yang membuat ku tak pernah bosan. Aku punya globe di kost an,suatu hari nanti aku ingin berkeliling kemanapun yang aku suka, mengunjungi setiap tower yang ada di negara-negara yang kujejak.” Aku hanya bengong dalam hati ini anak baru kenal nyerocos ga ada habisnya.
Siang itu adalah perkenalanku yang tak terduga dengan Yudha, pria berkacamata minus yang berpenampilan ala anak “traveler”. Gayanya cuek,,, tapi cakep juga lho.
Pertemanan kami mencapai 8 semester. Dia yang membangkitkan anganku untuk berkeliling dunia. Di dalam kamarku terpampang peta dan perjalanan yang ingin kutempuh setelah pertemuan pertemuan dengannya yang berapi api.
“Kinan, besok kita sudah wisuda lho. Kamu memperhatikan tidak tentang gerbang ITB dan bunga yang ada diatas kita ini ? Bunga bougenville ini hanya berbunga pada bulan Agustus pada saat penerimaan mahasiswa baru, bunga yang berwarna ungu mekar di pertengahan semester, sementara itu bunga berwarna merah muda mekar di akhir semester” celoteh Yudha dengan senyum yang penuh semangat sambil memberi ku secarik kertas bertulis “The world is a book and those who do not travel read only one page (Augustine of Hippo)”
3 tahun semenjak lulus dari ITB aku diterima di sebuah perusahaan bergengsi. Dalam hitungan 36 bulan aku adalah manager termuda ditempatku bekerja, doa ibu adalah jawaban dari semua ini.
Aku masih ingat betul 3 tahun lalu saat bersama Yudha, dia yang memberikan semangat tentang sebuah perjalanan. Tapi keinginan ‘menjelajah dunia’ tak lantas membuatku egois, terlebih saat ibu ku divonis kanker. Tuhan memberikan cobaan dan rejeki sesuai waktunya bukan? Saat aku telah cukup mapan secara financial, keluarga kami berjuang dengan segala iman dan materi yang kami punya mendampingi perjuangan ibu memperoleh kesembuhan. Hingga akhirnya, Tuhan menghendaki menghentikan rasa sakit ibuku dan mengangkat ke sisiNya, dan pesan terakhir ibuku ‘saatnya kamu membahagiakan dirimu sendiri nak. Bahagia kan dirimu. Jelajahi dunia seperti maumu’. Pesan itu yang menjadi titik balik dari serangkaian perjalananku ‘menjelajah dunia’.
Pertama kali aku melangkah adalah ke negeri tetangga ke Singapura. Aku dulu tak pernah tahu dan peduli ternyata kita tak boleh rumpi saat berjalan ditengah escalator. Jalur kanan adalah untuk yang santai santai saja, jalur kiri adalah untuk jalur cepat. Beda saat aku balik ke Indonesia dimana eskalator dibuat jalur rumpi, arisan, ataupun pacaran. Setidaknya aku bisa menularkan kebaikan dengan berdiri ditempat yang benar.
Perjalanan ke 2 adalah saat ke Malaysia. Dinegeri tetangga ini aku begitu takjub dan menderita. Indonesia dan Malaysia adalah saudara serumpun tapi apa di kata, Malaysia jauh lebih unggul. Wisata digarap begitu bagus, ada mobil Hop On Hop Off yang bertujuan mengantar wisatawan keliling area area wisata. Itu yang membuatku menderita. Di Jakarta? Bila ada bis Hop On Hop Off, pasti para turis sudah pada pingsan duluan karena macet yang tak terurai.
Tomyam? “whats” bagaimana bisa makanan basi bisa mendunia. Mencium aromanya saja bisa membuatku mual-mual. Saat mengunjungi Thailand dalam jangka waktu 2 minggu akhirnya mau tidak mau harus makan. “Sesuatu itu harus dipaksa untuk mencapai tujuan sampai kau sendiri tidak sanggup”, itu yang membuatku bertahan. Dan akhirnya saat ini aku malah menjadi penggemar Tom Yam nomer satu.
Aku tidak pernah sebahagia ini sebelumnya. Bagiku berkeliling dunia hanyalah mimpi, bagiku mengenal budaya negara lain hanyalah delusional. Aku ingat betul saat kami sekeluarga melihat TV hitam putih tentang liputan Buckingham, ibu berkata “suatu saat kamu pasti kesana nak, menikmati takjub udara London, pegangkan untuk ibu jeruji istana Buckingham.” (norak ya)
“Pasti bu. Doakan” jawabku dengan optimis.
Here I am, berdiri di tanah Inggris. Aku tak peduli saat mata memandang kepadaku saat kulebarkan tangankan, berputar-putar menghirup takjub udara London. Kulangkahkan kaki ku dengan pasti menuju istana Buckingham dan kupegang jeruji pagarnya seperti pinta ibuku.
“Untukmu ibu aku berada disini, memenuhi inginmu” Ah andai ibu masih hidup pasti aku sudah mengajaknya kesini.
“Kinan berjanjilah padaku bahwa kau akan sampai di tanah London, berjalan menyusuri tower bridge, berjalan menikmati sungai thames, menyaksikan pertunjukan di globe teather. Lalu kita akan bertemu diantara kaki kaki eifel sambil menikmati keindahannya dari atas Bateaux Mouches” Kata Yudha 3 tahun lalu dibawah taman bougenvell.
Kubuka laptop dan mulai menulis e-mail untuk Yudha.
Lalu nikmat apalagi yang bisa ku bantah
visa yang terapprove, concrete dan beton yang bermahtab
melihat budaya yang berbeda, merasakan air yang berbeda
berjalan di bawah Arc de Triomphe, bahkan napoleon pun belum pernah berjalan melewatinya
Lalu nikmat apalagi yang ku ragukan
menyusuri hutan black forest, menyelami lautan yang berbeda, hingga kulit berubah warna
berjalan menyusuri Tower Bridge dengan secangkir kopi ditangan, syal yang melingkar, dan bercakap menari waktu
Lalu nikmat apalagi yang ku ragukan
saat lolos imigrasi
dalam kain balut yang berbeda
menarik koper-koper, menyusuri trotoar demi trotoar
dalam balutan musim dingin yang gigil
Dan aku tau dengan semangat dan bijakmu kau akan berkata
“aku tau kau hanya ingin menikmati selalu Shakespeare’s Globe Theatre”
PS:
Aku akan naik Eurostar.. menemuimu di kaki kaki menara Eiffel..besok.
Dalam heningku hatiku bergumam menambahkan “aku bersedia menikah denganmu”.
Perjalanan-perjalanan ini merubahku menjadi Kinan yang lain. Kinan yang dulu tak percaya diri, Kinan yang dulu selalu minder dengan kemiskinan, Kinan yang dulu berpikiran pendek, dengan melangkah kan kaki kebanyak Negara membuat seorang kinan berubah, sekarang aku bisa berpikir lebih bijak, berpikir bahwa tidak ada yang tidak mungkin selama ada kemauan.
Bukan hanya sekedar perjalanan mewah yang kulakukan, aku pun melakukan perjalanan backpacker. Karena ternyata dengan ber backpacker aku merasa benar benar hidup dan menyatu dengan alam yang melahirkanku. Aku mengenal bahwa ternyata tidak ada yang menandingi keramahan bangsa Indonesia, kita hanya kurang memolesnya sedikit saja, yah sedikit saja untuk jadi lebih baik.
“Books are the plane, and the train, and the road. They are the destination, and the journey. They are home.” Anna Quindlen