Bateaux Mouches

Bateaux Mouches

Sore itu langit Jakarta membiru, udara lembab sesak masih saja saling beradu, keringat keringat mulai menetes menyusup dalam tiap pori baju. Aku mencoba duduk menggapai bangku kosong, disebuah kereta sore yang lelah, masgyul. Tanpa sengaja ku melihat seorang lelaki melangkah, kupandangi utuh tubuhnya,alis matanya saling beradu dibingkai kacamata minus , gaya kantoran yang cuek, dipundaknya bergelayut tas ransel, jam Casio rantai metalik bertengger ditangan kanannya, bajunya kotak kotak, celananya berwarna coklat, biasa saja tapi mataku tak bisa beralih melihatnya.

Sore itu distasiun Jakarta kota.
………..
Derit langkah kaki terserak, langkah langkah cepat menggapai gerbong kereta api, sore itu di stasiun Jakarta Kota. Aku meraih tempat duduk seperti biasa, berpacu menangkap peluang untuk sekadar mengistirahatkan tubuh yang seharian kaku berjajar didepan komputer. Sore itu aku melihatmu lagi, sinar matahari membiaskan rambutmu menjadi keemasan, baju kotak kotak dengan warna berbeda dan celana coklatmu, aku mulai terpikir mungkin kau membeli satu lusin baju kotak kotak untuk selalu kau pakai. Kereta mulai berangsur berangkat, kau duduk tepat diseberangku, perlahan kau buka tas punggungmu memasukkan tanganmu, dan tangan kirimu mencoba menahan tas agar tak terjatuh, masih kulihat jam Casio metalik itu bertengger.

Saat kau berhasil mengeluarkan buku itu,sedetik kita saling menatap, rasanya malu, terpesona dan bahagia. Buku itu sebuah buku philosophy tentang chemical process safety karya Daniel a crowl. Aku sedikit tercengang…., sore pulang kerja dan dia masih sempat membaca buku berat yang tak mungkin aku pegang atau masuk dalam list bacaanku kalau tidak sedang dikantor. Dan mungkin aku akan jatuh cinta padamu, lelaki sore yang terbingkai kacamata, berbaju kotak kotak, bercelana coklat dan mungkin bacaanmu akan membuat hatiku lumpuh.

Sore itu mata kita bertatap walau hanya sesaat.
………………….
Jakarta telah lupa bagaimana caranya menjadi kemarau, sore itu gerimis menyapu debu menjadi bau “ampo” yang kusuka, saat tanah basah tersiram gerimis. Aku menengadah kelangit mengulurkan tanganku seolah ingin menari atau sekedar diseberangkan gerimis. Tak biasanya kereta yang mengantarkanku kekalibata tertahan entah dimana. Tapi aku menikmati gerimis ini, meninggalkan tempat dudukku dan berjalan menyambut hujan.

Saat lonceng pertanda kereta tiba aku memundurkan langkahku, melongok kearah kanan, kereta besi yang kunanti mulai mengepul, tepat didepanku pintu mulai terbuka, aku duduk disudut gerbong seperti biasanya, kau sudah ada diseberangku, duduk membenarkan bingkai kacamatamu dengan rambut agak basah, aku menyukai lelaki berkacamata dengan rambut yang tersapu gerimis, seperti bintang yang bertaburan diatas harapan, seperti salju yang tertebar pada gurun.

Kereta mulai berjalan meninggalkan langkah langkah kaki yang mulai memadati gerbong, seperti biasa baju kotak kotak dan celana coklat membalut tubuhmu. Kau mulai meraih buku yang rupanya sudah berganti menjadi chemical engineering cost estimation yang ditulis oleh Robert aries, aku mengenal buku buku itu yang sangat akrab denganku dulu, kau pasti lelaki cerdas dengan buku bukumu itu.

Kulihat kali ini kau tak benar benar membaca bukumu, sesekali kau mencoba menyeka hidungmu mungkin karena musim yang tak lagi setia pada waktu telah meruntuhkan daya tahan tubuhmu. Dan saat mata kita saling beradu, dadaku terasa gaduh, aku pura pura berpikir dan meraih Hp dalam sakuku berpura pura menulis pesan dan melirik keatap kereta, dan mencoba menuliskan pesan kembali di HPku, argghhh bohong.

Seharusnya saat mata kita saling bertemu aku melempar senyum padamu, agar kau tahu aku memperhatikanmu, ternyata rambutmu cukup tebal, lurus, hitam mengkilap saat matahari tak menghujanimu

Sore itu kau tahu aku memperhatikanmu.

………..
Sore itu aku mulai memikirkanmu, apakah kau masih memakai kemeja kotak kotak dan celana coklatmu, kemeja yang agak lusuh di punggungmu, mungkin seharian kau duduk, berpikir dikursimu menarikan angka angka diotakmu. Aku mulai menerka buku apalagi yang akan kau baca, setelah water conditioning for industry, chemical reaction engineering, plant design and economics for chemical engineers dan masih banyak lagi.

Ketika aku mulai menghitung buku itu lagi, ternyata aku telah bertemu denganmu selama 365 hari lebih 8 jam, ditemani sore,dan reruntuhan langkah. Rasanya aku ingin menghancurkan altar waktu, rasanya aku ingin menyudutkan waktu. Kau ada didepanku, tapi aku hanya mengenalmu dalam diam, mengenalmu dengan tas punggung backpackmu, baju kotak kotak, celana coklat, jam casio metalik, dan tentu saja kacamata bingkai hitam yang membuatmu menjadi lelaki sempurna dihadapanku.

Tanpa sengaja ujung kelingkingku menyentuh ujung jari jemarimu dan entahlah seakan aku tersihir mengikuti langkah langkahmu, gerbong yang telah penuh dan kau mendapatkan tempat duduk itu. Dan aku? biasanya saat gerbong telah penuh, aku akan berjalan mencari ke gerbong yang lain dan sore itu aku terpaku bergelantungan digerbong penuh sesak ini, aku tersihir mengikuti alunan langkahmu.

Dan sialnya aku berdiri tepat dihadapanmu, tiba tiba keringatku mulai mengalir seiring laju kereta yang tak bisa kuhentikan, kau tersenyum padaku. “Deg “ seakan jantungku terhenti
“ Mau duduk? Silahkan, saya berdiri saja “
Aku tak berkata apapun, hanya tersenyum dan duduk dikursimu, hari yang kukutuki kenapa aku tak bisa mengucapkan terima kasih padamu dan saat kusadari itu, tubuhmu telah berada di antara tubuh tubuh yang terhimpit dan aku hanya bias terdiam.

Sore itu tiba tiba saja aku menjadi seseorang yang tak berterima kasih
……………
Aku duduk gelisah didalam kuda besi ini, sekali kali melongok kekanan dan kekiri kearah gerbong lain, aku menyadari saat sampai di stasiun gambir kau tidak ada dihadapanku, aku gelisah menunggu saat kereta menuju Gondangdia, Cikini, Manggarai, Tebet, dan kutak menemukanmu dihadapanku, aku hampir saja berdiri saat melihatmu berjalan dari arah lain, distasiun Cawang aku mendapatkanmu duduk dihadapanku dengan buku yang sudah ada digenggamanmu, rasanya ada perasaan menyesal saat tak melihatmu mengeluarkannya dari dalam tasmu.

Dan rasanya tak adil saat kereta berhenti di statsiun Duren Kalibata itu berarti kita akan sama sama turun dari kereta ini. Kau berdiri melirik kearahku, aku pura pura menata blouseku, meraih tasku, kau berjalan 4 langkah dihadapanku, aku tepat dibelakang orang ke 3 yang mengikuti langkahmu, ahhhhh kenapa aku tak langsung mengikutimu saja dan mengucapkan kata terima kasih karena kau telah memberikan kursimu untukku, saat aku menyadari pikiranku itu, aku sudah tak melihatmu dihadapanku, jalanmu sangat terburu sore itu, entah apa yang membuatmu sangat bergegas. Aku terdiam.

Sore itu aku sangat gelisah saat mataku tak menangkap bayangmu
………..
“hi apa kabar ?”
“terima kasih sore itu atas kursimu, kau jadi berdiri”
“kau bekerja diperusahaan EPC, Engineering , Procurement and Contruction atau di perusahaan oil and gas?
“kau tinggal di daerah dikalibata ya? Daerah mana? Aku di kalibata city”
“ maaf jam berapakah ini ?”
Ada banyak kalimat yang sudah kususun dalam beranda ingatanku, menunggu saat kau muncul, dan tepat sesuai jam di HP ku kau datang jam 17. 16 di stasiun ini. Kau menuju kearahku, pikiranku merancau dahsyat.
“kosong?”
Aku hanya mengangguk kearahmu, setelah 366 hari aku baru tahu parfum yang kau gunakan adalah Bulgari Aqua dan kau tepat duduk disampingku, sedikit menghimpit tubuhku, kursi ini terasa penuh sesak dengan keberadaan orang ketiga diiujung sana.

Ada yang baru dipergelangan tangan kananmu, saat aku melirik kearahmu kau mulai mengetuk ngetuk benda dipergelangan tanganmu, lalu muncul sensor sensor lampu itu, ada 5 titik yang menyala, kulihat kau tersenyum bangga. Hari ini aku mengenalmu lagi, kau hobi olahraga ternyata dan aku tahu benda yang melingkar itu Fitbit, sensor gerak yang harus kau capai dalam sehari, bau parfum ini seolah melekat dalam tubuhmu, bercampur dengan cerdasnya pikiranmu dan athletis tubuhmu, sempurna dengan bingkai kacamata hitam yang bertarung dengan matamu.

Kudengar kau menghela nafas panjang seolah ingin menyapa padaku. Suara lonceng itu seketika membuatku berdiri, kuda besiku telah datang, seakan aku ingin berlari meninggalkanmu, kalimat kalimat yang telah kususun musnah teriringi bunyi gesekan rel. sore itu aku gagal menyapamu kembali, kenapa aku menjadi bisu dihadapanmu, kenapa aku menjadi gugup dihadapmu.

Hanya ingin berdiri, menyapamu, “Hi” mengucapkan kata sederhana itu sudah cukup bagiku. Bersamammu dikereta ini membuat perjalanan ini sangat cepat, suara suara bising yang kadang mengganggukupun kudengar hanya dengungan yang berlalu. Kau benar benar Nampak gelisah, aku hafal raut itu, aku telah mengenalmu ratusan jam, ratusan hari, ribuan detik. Sesekali kau melirikku, hari ini kau tak membuka rangselmu tak mengeluarkan bukumu.

Seakan ingin mengatakan sesuatu padaku, beberapa kali tatapan kita saling bertemu, aku mulai gelisah. Suara peluit panjang dan suara masinis membuyarkan segalanya, kau mulai berdiri menatapku, benar benar menatapku, ingin mengatakan sesuatu atau mungkin juga ingin sekedar menyapa “ hi “, aku mendongak kearahmu tersenyum, senyum yang termanis yang pernah kubuat.

Kau mengernyitkan dahi tak membalas senyummu, kau terus menatapku seolah ingin berkata sesuatu, lama sekali kau memandangiku sampai saat kereta ini benar benar berhenti, dan saat aku mulai berdiri, saat kau mulai melangkah mendekatiku, hilir mudik penumpang menghalangi jarak kita, dan mau tak mau kau harus turun duluan, sore itu aku penasaran apa yang ingin kau katakan.

Sore itu aku merasa ada yang hilang entah kapan dan dimana

…………..
Empat belas hari tak melihatmu memakai kemeja kotak kotak, celana coklat, tak melihatmu mengeluakan buku bukumu dari tas punggung yang menemanimu, tak melihatmu melirik jam tanganmu dan mencoba menatapku. Sejak sore itu, sejak kau berbicara dalam diam. Kembali aku merasakan begitu bisingnya kereta ini, begitu tak beraturnya orang lalu lalang menjajakan barangnya, dan begitu tak terurusnya kereta ini, Perjalanan stasiun Jakarta kota ke Duren Kalibata terasa lama bagiku, udara pengap selalu membuatku sesak, bau keringat saling beradu mengalir dari krah krah, kaos kaos pedagang, pekerja, pengamen bercampur sangat menggangguku. Begitu buruknya sore tanpa kehadiranmu.
Sore menjadikannya waktu yang tak ingin kulalui.

……………
Aku benar benar kehilanganmu dalam catatan waktuku 150 hari, 7 jam, 160 detik. Aku takut tak lagi bisa menemuimu, aku harus berangkat besok pagi ke Paris ada tugas yang harus kuselesaikan disana selama 2 tahun, takut saat kau muncul dan tak menemukanmu.
………………..
Aku berada diatas kapal Bateaux Mouches, menikamti sisi lain dari kota romantic ini, udara dingin menusuk ketulangku, tapi aku tak beringsut dari dek atas kapal ini, aku mencoba mencerna satu persatu Gereja Notre dame, Museum Louuvre, Les invalids, jembatan Alexander III, dan saat kapal yang kutumpangi melewati menara Eiffel aku melihat bayangan lelaki berkacatama minus, dengan baju kotak kotak dan celana coklatnya, melihat ke arahku, tepat 10 langkah dihadapanku, diatas kapal yang sama, sore itu kau bergegas menuju kearahku, aku tersenyum kerahmu, kau sedikit berlari tersenyum kearahku.

Bateaux Mouches mempertemukan kita dan aku mulai berkata “hi…” dan percakapan panjang itupun membuatku lupa tentang arsitektur paris yang kulewati.

Sore itu katamu, aku adalah gadis kereta yang selalu memakai blouse putih, potongan rambut pixie, tas jinjing berwarna biru, sepatu “kets” berjumlah lima sesuai warna celanaku dihari kerja, gadis manis yang ditemani lesung pipi indah disudut kereta.

paris

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *